Pernikahannya berlangsung seperti normalnya orang menikah. Sampai suatu saat, Mirna menemukan beberapa foto PSK di HP suaminya… sehingga ia bertanya dalam hati. apa yang bisa dia lakukan agar suaminya tak lagi perlu jajan? Mungkin saran kakak iparnya bisa dicoba.
Mirna memberikan HP kepada kakak iparnya untuk memperlihatkan foto-foto yang diambilnya dari HP suaminya, Bram. Sitha, kakak ipar Mirna, menyandarkan punggung ke kursi salon yang didudukinya sambil membuka satu per satu foto-foto itu. Di cermin terlihat pantulan muka Mirna yang cemberut.
“Oo,” gumam Sitha tanpa ekspresi,
“Beginian. Dasar Bram. Penyakit lama, nih”.
Mirna agak kesal melihat kakak iparnya—merangkap pemilik salon tempat mereka berdua ngobrol—‘biasa saja’ melihat foto-foto perempuan lain yang membikin Mirna dan Bram bertengkar dua hari lalu. Waktu itu Mirna makin marah ketika Bram mengakui bahwa perempuan-perempuan itu PSK.
“Penyakit lama, Kak Sitha? Apa dari dulu Mas Bram memang suka jajan?”
“Emmm…” gumam Sitha sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ada di meja,
“Iya sih. Lho kamu kok malah baru tahu. Gimana. Kamu kan istrinya.”
Mirna malu sendiri. Tapi dia memang tidak bisa disalahkan, karena pernikahannya dengan Bram baru berjalan setahun, dan sebelumnya mereka berdua tidak pernah pacaran. Keduanya memang dijodohkan oleh orangtua masing-masing yang rekanan bisnis, dan sekarang mereka sama-sama disiapkan jadi penerus usaha keluarga besar mereka.
Mirna dan Bram sudah kenal sejak kecil, tapi mereka baru mulai saling mengakrabkan diri setelah menikah. Satu yang Mirna tahu, keluarga Bram memang longgar dalam mendidik anak-anaknya. Jadi seharusnya dia tidak heran kalau Bram ketahuan punya kebiasaan buruk seperti itu. Sama saja dengan kakak Bram, Sitha.
Sitha yang sekarang berumur 30-an tadinya malah disiapkan untuk dijodohkan dengan seorang saudara Mirna, tapi karena terbiasa bergaul sangat bebas, Sitha dihamili temannya waktu kuliah dan terpaksa dinikahkan dan selanjutnya diusir karena bikin malu keluarganya.
“Terus gimana nih?” Sitha bicara sambil menjepit rokok yang baru dinyalakan dengan bibirnya yang tersaput lipstik merah jambu tebal.
“Kamu udah dua hari nggak ngomong sama Bram. Apa mau terus-terusan? Ah, tapi kamu kan anak baik. Pasti kamu mikirin keluarga besar kita. Gak enak sama mereka kalau sampai… cerai.”
“Nggak!” jerit Mirna.
“Bram emang salah sih, tapi Kak, aku nggak niat cerai sama dia. Aku udah mulai belajar sayang dia Kak. Dan aku juga baru tahu kebiasaan dia yang ini. Makanya aku datang minta saran Kak Sitha, gimana baiknya aku hadapi masalah ini. Kak Sitha kan lebih kenal Bram,” suara Mirna mengecil karena malu,
“…lagian aku nggak mau nyusahin orangtua kita semua.”
Baik banget ini anak, pikir Sitha. Cuma saat itu juga Sitha merasa dapat satu lagi alasan yang bisa dia kasih kalau ada orang tanya pendapat dia tentang menikah tanpa pacaran. Mirna, yang tidak pernah pacaran dengan Bram, kaget waktu kebiasaan buruk Bram ketahuan sekarang.
Kalau Mirna pacaran dulu sama Bram, pastinya mereka bisa lebih saling ngerti, atau bisa putus tanpa repot kalau memang Mirna nggak suka. Sitha mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asap dari mulut. Mirna menghindar sambil mengipas-ngipas di depan muka.
Kakak iparnya itu sudah merokok sejak SMA, dan kadang-kadang Mirna mengira Sitha selalu bermake-up tebal (seperti saat mereka ngobrol sekarang) untuk menutupi penuaan dini di mukanya yang sudah belasan tahun kena asap rokok. Sitha memang tidak pernah tampil tanpa riasan lengkap, rambut tertata, dan pakaian mencolok; tidak hanya sejak dia membuka salon, tapi sejak dia remaja.
Mirna melihat Sitha seperti berpikir sambil merokok, lalu membetulkan tali sackdressnya yang melorot dari bahu. Sackdress hitam agak transparan itu gagal membuat bra merah yang ada di bawahnya tidak kelihatan. Sitha lalu menaruh rokoknya di asbak, tersenyum, berdiri, lalu mendekati Mirna.
“Kalau menurutku sih begini saja…”
“KOK GITU SIH CARANYA???” Mirna tidak bisa menahan volume suaranya setelah mendengar saran Sitha sampai habis. Yang memberi saran dengan santainya mengambil lagi rokok yang tadi ditinggal lalu meneruskan menyedot batang rokok.
“Terserah kamu sih. Saranku ya gitu. Kalau mengingat sifatnya Bram sih kupikir cara itu mempan. Kalau kamu mau coba tanya orang lain, silakan.”
“…” Mirna diam saja.
“Kalau kamu mau, aku siap bantu. Gratis,” kata Sitha, sambil nyengir. “Bukan cuma sekali, tapi seterusnya juga boleh. Hitung-hitung balas budi sama kalian yang udah bantu aku selama ini.”
“…Sebentar. Aku pikir-pikir dulu,” bisik Mirna, menimbang-nimbang.
Ternyata dia perlu waktu lama sekali buat menimbang-nimbang. Berkali-kali dilihatnya lagi foto-foto yang diambilnya dari HP Bram.
“Mas, aku mau bicara sama kamu nanti malam.” SMS itu Mirna kirim ke HP Bram.
Bram, yang sudah uring-uringan sejak bertengkar dengan Mirna setelah ‘foto-foto kenangan’nya ketahuan, menarik nafas lega di kantor. Menjelang sore.
Sesudah memastikan jalanan di luar kosong, Mirna langsung keluar dari salon Sitha dan secepatnya menuju rumah besar di sebelahnya. Rumah itu rumah Bram dan Mirna; Sitha tinggal dan buka usaha di sebelah rumah mereka berdua. Sewaktu mau membuka pagar rumahnya sendiri, Mirna kalang-kabut ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam muncul di ujung jalan. Tapi dia sempat masuk ke rumah sebelum Mercy itu lewat.
Mercy itu tidak berhenti di rumahnya, karena memang itu mobil orang lain; mobil mewah itu berhenti di depan salon Sitha. Dari balik pintu supirnya keluar seorang laki-laki, yang lantas mengunci Mercy itu, lalu masuklah dia ke salon Sitha. Semua itu tidak sempat diperhatikan Mirna. Mirna sendiri sudah cukup lega karena tidak kepergok siapapun dalam perjalanan yang cuma beberapa meter saja dari tempat kakak iparnya.
“Aku pulang kira-kira sejam lagi.” SMS dari Bram masuk ke HP Mirna.
Mirna duduk sendirian di dalam kamar di depan cermin. Normalnya dia bakal melihat rona mukanya sendiri berubah merah karena perasaannya yang campur aduk, tapi kali ini agak susah bagi dia. Rumah itu baru terisi mereka berdua, Bram dan Mirna, yang menikah tahun lalu. Belum ada anak. Selama ini kehidupan mereka lancar-lancar saja.
Mirna ‘si anak baik’ menerima saja ketika orangtuanya dan orangtua Bram memutuskan perjodohan mereka. Bram juga bukan suami brengsek. Setidaknya sampai belangnya ketahuan beberapa hari lalu. Hanya saja Mirna sering merasa Bram seperti bosan dengan dirinya.
Mirna masih muda. Bram lebih tua sedikit. Setelah lulus kuliah keduanya dijodohkan dan tak lama sesudahnya menikah. Karier mereka berdua terjamin karena mereka berdua akan meneruskan usaha yang dirintis orangtua-orangtua mereka, dan mereka sama-sama sedang bekerja di sana, hanya di bagian yang berbeda.
Mirna punya banyak waktu luang dan bisa bekerja di rumah, sedangkan Bram banyak bepergian keliling kota dan kadang-kadang ke daerah. Sebenarnya Bram tidak bisa dibilang rugi dijodohkan dengan Mirna, yang berwajah lumayan menarik. Sitha, yang sudah kenal duluan dengan Mirna sebelum Mirna mengenal Bram, pernah bilang dia iri dengan tubuh Mirna yang lebih sintal daripada tubuhnya sendiri.
Tapi kalau keduanya berjejer, orang bakal lebih banyak yang menengok ke arah Sitha daripada Mirna, karena Sitha selalu tampil ‘meriah’ dengan dandanan cenderung menor dan pakaian seksi, sementara Mirna selalu terlihat polos dan biasa berpakaian konservatif. Mirna masih tidak percaya kenapa akhirnya dia setuju mencoba saran Sitha. Tapi, pikirnya, dicoba sajalah… tidak ada salahnya.
Bram menyetir pulang membawa oleh-oleh kue coklat untuk istrinya yang dia kira masih ngambek, tapi sudah beritikad baik mengajak berdamai. Dia sadar, dia sendiri salah. Sudah kawin kok masih doyan jajan. Tapi, yah, kebiasaan lama susah luntur.
Dan ada hal-hal yang dia kira tidak bakal dia dapat dari Mirna. Bunyi SMS datang di antara bunyi radio mobil. Pesan dari seorang perempuan yang fotonya sampai tadi pagi ada di HP Bram. Sekarang semua foto itu sudah hilang dari HP Bram (tapi pindah ke tempat-tempat lain, tentu saja). Dan Bram tidak menanggapi ajakan dalam SMS itu.
“Jangan dulu deh”, pikir Bram.
Mirna mendengar bunyi mobil Bram dan sesudahnya bunyi pintu rumah dibuka. Dia menenangkan diri, mengulang lagi semua yang mau dia lakukan (atas saran Sitha), dan bersiap-siap. Tangannya dingin. Berjam-jam sudah dia habiskan untuk persiapan dengan dibantu Sitha tadi.
Dalam hati dia berusaha membenarkan pilihannya dengan mengatakan, mungkin ini memang perlu, demi kami berdua, dan demi keluarga. Tapi dalam hatinya berkali-kali terselip rasa penasaran. Dia ingin tahu, bagaimana jadinya nanti. Bagaimana kira-kira reaksi Bram. Bagaimana kira-kira reaksi dia sendiri.
“Sudah waktunya.” pikirnya
Bram melongo di pintu, memelototi Mirna yang berdiri di depannya. Malam itu, Mirna berubah. Mirna yang sederhana dan terkesan baik-baik sedang tidak hadir. Sebagai gantinya…Mirna tampil beda. Dia memakai gaun mini ketat berbahan satin berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai menutupi setengah pahanya, sehingga memperlihatkan stocking jala hitam yang membungkus kedua kakinya sampai berujung ke sepasang stiletto hak tinggi. Di atas pinggang, gaun mini itu mendesak sepasang payudara Mirna sampai nyaris tumpah ke luar, sementara pundaknya terbuka. Kebetulan warna kulit Mirna coklat muda. Bukan putih atau kuning atau sawo matang, tapi warna di antaranya. Itu juga yang membuat lapisan bedak yang membuat mukanya lebih putih terkesan lebih kentara, karena kontras antara warna muka dan badan. Ketika Mirna berkedip, tampak rona biru muda di kelopak matanya, di bawah alis yang dibentuk dan dipertegas. Kedipannya juga menunjukkan bulu mata palsu yang menempel di kedua mata. Pipinya bersemu merah, tapi karena polesan.
“Kok bengong aja, Mas? Kamu suka yang kayak gini, kan?”
Kata-kata itu meluncur dengan nada menantang dari sepasang bibir Mirna yang kali ini tidak telanjang. Biasanya Mirna paling-paling hanya memakai lip gloss, namun malam itu mata Bram tidak bisa lepas dari bibir Mirna yang tampak lebih penuh dan sensual. Merah, mengilap, menantang. Seperti itulah saran Sitha untuk Mirna.
“If you can’t beat ‘em, join ‘em.” Sitha kenal benar dengan Bram. Adiknya itu tidak bisa dibilang ganteng, malah tampangnya terhitung pas-pasan. Maka itu sejak dulu Bram selalu kurang mujur dalam percintaan; biarpun dia anak pengusaha, tetap saja jarang ada cewek yang mau dengannya.
Jadi dia terbiasa lewat jalan pintas dengan jajan. Dan seleranya jadi terbentuk ke arah penampilan ‘khas’ cewek-cewek penjaja cinta: dandanan seksi tapi terkesan murahan. Perempuan-perempuan macam itulah yang fotonya Mirna temukan di HP Bram.
“Mirna… kamu… ini maksudnya…?”
Melihat Bram bengong saja, Mirna mengingat-ingat lagi apa kata Sitha mengenai bagaimana dia harus bersikap. Jadi dia segera maju mendekati Bram dan menarik dasi Bram. Bram melihat istrinya menatap tajam matanya, sambil mencium bau parfum yang lumayan keras.
“Kenapa? Gak seneng kalo aku kayak gini?”
Bram kewalahan, takut salah ngomong di depan istrinya yang entah kesambet apa sampai mendadak makeover jadi seperti WP langganannya. Dia cuma bisa menjawab pelan-pelan.
“Bukan… bukan gitu… tapi kamu… Aku… nggak…”
Mirna tambah sewot. Maksudnya apa itu? Apa dia malah gak suka aku jadi seperti ini? Melihat muka Bram yang tambah panik, Mirna memberanikan diri untuk agresif. Dipepetnya Bram ke tembok, sambil masih memegang pangkal dasi Bram seperti siap mau mencekik.
Bram lebih besar dari Mirna, tapi saat itu seperti tidak punya kekuatan untuk melawan Mirna. Sementara tangan kanannya siap membuat Bram susah bernafas, tangan kiri Mirna mencari-cari bagian tubuh Bram yang paling jujur.
Tuh, kan… pikir Mirna. Dia merasakan kemaluan Bram mengeras di balik celana.
Mirna meremas pelir Bram.
“Masih mau bohong?” katanya sengit.
“Aku udah tahu. Kamu paling suka ngelihat cewek dandan sampe kelihatan murahan kayak gini kan? Itu kan alasannya kamu masih terus aja jajan di luar biarpun kamu udah punya aku kan?”
Bram mau menjawab, sekaligus merasa agak nyeri di bijinya yang ada di cengkeraman Mirna. Mirna sudah kelihatan marah sekarang. Tapi Bram tidak bisa menyangkal bahwa dia terangsang melihat Mirna berani tampil seperti itu. Cuma dia tidak berani bilang.
“Gak usah nyangkal,” desis Mirna.
“Aku udah tahu seperti apa kamu sebenarnya, Mas. Tapi aku gak senang kalau kamu gak terus terang aja. Aku kan istri Mas Bram? Apa susahnya sih ngasih tau aku apa yang kamu suka?”
“Habisnya…” Bram meringis.
“…ya, kupikir dibilangin juga kamu ga bakal mau…”
“Jadi kamu ga nanya dulu, nyangka aku ga mau, makanya kamu milih ngentot sama lonte? Gitu? Apa ga pernah kepikiran kalau aku bisa aja mau ngikutin kemauan Mas?”
Bram menunduk, tidak berani bicara. Pada saat yang sama, dia tambah terangsang mendengar Mirna berani ngomong jorok seperti itu. Tambah sempit saja celananya terasa. Mirna juga merasakan itu.
“Tuh, yang di bawah situ udah ngaku,” sindir Mirna.
“Bilang aja kalo suka, Mas. Jujur aja.”
“Eh… i… iya… kamu… em… cantik?” Bram merasa salah ngomong, tapi tidak tahu yang benarnya seperti apa.
“Cih. Kaya’ gini yang dianggap cantik? Seleramu payah amat, Mas,” maki Mirna, walaupun dalam hati kecilnya dia senang juga dipuji seperti itu.
“Tapi daripada kamu gak mau berhenti jajan…” Sudah waktunya, pikir Mirna. Lanjut…
“…mending kukasih aja.”
Didorongnya Bram ke sofa ruang depan sampai Bram terduduk. Dengan tidak sabaran Mirna langsung naik ke pangkuan Bram dan memaksa mencium bibir Bram. Bram awalnya kelabakan, tapi langsung menyerah pada desakan Mirna. Hampir 10 menit bibir mereka bertempur, lidah mereka saling serang.
Buat Mirna sendiri, perlu kekuatan tekad sangat besar untuk bisa berpenampilan dan bersikap seperti saat itu. Seumur hidup belum pernah dia seagresif itu, jadi dia deg-degan sendiri waktu akhirnya berani bicara keras di muka Bram. Tapi itu baru permulaan.
Dia sudah berniat mau habis-habisan malam itu, dan meyakinkan Bram untuk seterusnya bahwa dia tidak mau lagi Bram main-main di luar. Artinya, dia sendiri harus melakukan semuanya supaya Bram tidak lagi punya alasan. Tangan kiri Mirna membuka kancing dan resleting celana Bram.
Mirna belum pernah melakukan seks oral dengan Bram sebelumnya, karena Bram tak pernah minta, dan Mirna sendiri kurang inisiatif. Tapi malam itu Mirna tidak ragu-ragu dan tidak menunggu Bram.
Setelah kemaluan Bram yang sudah mengeras terbebas dari celana, Mirna langsung menggarapnya. Jilat dan sedot. Bram terpana melihat bibir merah Mirna naik-turun mengelus anunya. Bukan pertama kali dia disepong; cewek-cewek langganannya lebih kenal dengan rasa kemaluan Bram daripada Mirna.
Karena itu juga Bram mulai bisa tenang lagi, menghilangkan kaget sambil memikirkan apa yang sedang terjadi. Sambil menjilati ereksi Bram, Mirna terus menahan rasa malu dan segan. Dia sudah tidak merasa jadi diri sendiri sejak pertama kali Sitha selesai mempermak habis penampilannya dan dia melihat sendiri mukanya di cermin.
Wajah perempuan bermake-up tebal yang asing itu terlihat norak sekaligus menggoda. Mirna sempat terpikir bahwa itu sudah berlebihan, tapi dia mencoba menerima saja hasil karya Sitha di mukanya.
Perempuan di cermin itu tidak terlihat seperti dia, tapi itu memang dia. Pakaian yang dipinjamkan Sitha pun tidak mencerminkan kepribadiannya yang biasa, tapi Mirna diam saja. Biarpun harus menahan malu, dia harus mencoba dulu. Demi Bram. Demi dia sendiri…
Berhubung Mirna baru pertama kali mempraktekkan fellatio, aksinya masih canggung. Dia tidak tahu apakah Bram suka atau tidak. Dia berhenti lalu melirik ke arah muka Bram. Bram sudah merasa pegang kendali. Satu hal yang tidak diceritakan Sitha ke Mirna, karena Sitha sendiri tidak tahu: kalau bersetubuh dengan wanita bayaran, Bram terbiasa dominan dan cenderung melecehkan lawan mainnya.
Itu juga salah satu alasan Bram ragu-ragu meminta Mirna mengikuti kemauannya. Bram tidak yakin istrinya bakal mau, dan kuatir kalau Mirna tahu apa kesukaannya, masalah bisa muncul. Beda kalau dengan PSK; dia tinggal bayar lebih supaya mereka mau meladeni permintaannya, atau cari cewek lain yang mau. Sekarang ternyata Mirna sendiri memberi sinyal bahwa sebenarnya dia mau mengikuti kemauan Bram. Dan Bram mulai sadar bahwa justru itulah yang dia tunggu-tunggu.
“Kok berhenti?” kata Bram, dengan nada tegas.
“Udahan, nih?”
Sekarang gantian Mirna yang kaget. Dia menganggap apa yang dia lakukan itu semacam akting, role-playing, bermain peran. Dia tidak menyangka Bram bakal secepat itu mengerti dan ikut ‘bermain’. Gara-gara salah perhitungan itu, perannya buyar. Dia merasa konyol karena bengong sementara bibirnya masih di seputar burung Bram.
“Jangan dipaksain kalo emang gak bisa,” kata Bram, mulai yakin bahwa dia sudah membalik keadaan. “Tapi kamu sendiri yang ‘masang’. Ya udah. Sekalian.”
Mirna melihat sekilas Bram nyengir jahat lalu merasakan kedua tangan Bram mencengkeram kedua sisi kepalanya. Sebelum Mirna sempat bicara, Bram berdiri, lalu dengan gencar memaksa kepala Mirna bergerak maju-mundur menyervis anunya. Mirna kelabakan sendiri, dan cuma bisa mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas selagi mulutnya berubah jadi alat masturbasi Bram.
Bram memutar tubuh sambil menarik Mirna sehingga sekarang Mirna membelakangi sofa. Lalu Bram menundukkan badan sehingga kepala Mirna terdorong sampai berbantalkan jok sofa. Setelah dalam posisi itu, Bram langsung menggerakkan pinggulnya membabi-buta, kemaluannya mengaduk-aduk seisi mulut Mirna yang tidak bisa apa-apa selain menerima.
Beberapa genjotan kemudian, Bram melenguh keras dan muncrat di dalam mulut Mirna. Setelah ejakulasi, Bram keluar dari mulut Mirna. Mirna terbatuk, berusaha mengeluarkan mani Bram dari dalam mulutnya. Bram melihat itu dan langsung menghardik.
“Heh. Siapa suruh muntahin? Telan.” Mirna yang masih kaget tidak sempat berpikir apa-apa lagi, secara refleks diikutinya perintah Bram.
Mirna memalingkan muka selagi menelan. Dia berusaha bangun, sementara Bram berdiri mengangkang di atas badannya. Mirna beringsut ke sofa. Bram tersenyum penuh kemenangan sambil membuka dasinya. Dilihatnya Mirna meringkuk di sofa. Sekarang istrinya itu terlihat ketakutan. Memang. Mirna seperti baru melepaskan anjing galak dari ikatan, dan sekarang anjing galak itu malah mengancamnya.
Ganti Bram yang mendesak Mirna di sofa. Kedua tangan Bram memegangi kedua pundak Mirna sementara tubuhnya merapat ke tubuh Mirna. Dilihatnya lagi wajah Mirna yang sedang main pura-pura jadi sundal itu. Walau ada yang cemong sedikit gara-gara mukanya tadi digagahi, bibir Mirna masih merah, maskaranya belum luntur, bedaknya masih ketebalan.
Topeng wanita murahan-nya masih ada. Cuma ekspresinya memang berubah; kalau tadi ekspresi PSK cari mangsa, sekarang tampang PSK kena razia. Tapi Bram yang mulai menikmati perubahan istrinya tidak mau membiarkan Mirna balik lagi seperti yang dulu.
Bram terpikir untuk bersikap gentleman dengan langsung melepas Mirna, meminta Mirna menghapus semua rias wajahnya dan ganti baju biasa, lalu meminta maaf dan kembali bersikap mesra. Tapi Bram tidak mau buru-buru melepas kesempatan. Mumpung istrinya lagi ingin bergaya binal, kenapa tidak dimanfaatkan sepuasnya?
“Mestinya dari dulu kamu begini,” kata Bram di depan muka Mirna, “Tapi kalo udah susah-susah dandan kayak gini, jangan setengah-setengah dong! Terusin aja.” Mirna seperti berusaha meraih mukanya maksudnya mau minta french kiss dari Bram, tapi Bram berkelit.
Dia belum lupa tadi habis membuang apa di mulut Mirna. Selagi Mirna kecewa, Bram menyerang sasaran lain. Dibuatnya leher, pundak, dan bagian atas payudara Mirna berbekas cupang merah. Lalu diangkatnya ujung bawah gaun mini Mirna. Di situ Bram mendapati Mirna tidak pakai celana dalam.
“Niat banget, ya? Sengaja ga pake CD?” goda Bram.
“Atau sedari tadi kamu udah gak tahan jadi self service dulu?” Yang digoda membuang muka karena malu.
Dengan leluasa Bram melalap selangkangan istrinya. Hingga malam itu kehidupan seks Mirna dan Bram relatif monoton; mereka biasanya cuma berhubungan seks biasa, sekadar bermesraan, petting, setubuh dengan posisi normal, tak banyak variasi. Mirna tidak mempermasalahkan; Bram merasa kurang tapi tidak mau bilang ke Mirna dan memilih melampiaskannya di luar.
Jadinya, ya, baru kali itu juga Mirna menikmati kemaluannya dimakan Bram. Sensasinya langsung membuat Mirna mendesah-desah keenakan sambil menjepit kepala Bram dengan kedua pahanya. Mirna sampai lupa terpikir untuk membalas perlakuan Bram tadi dengan tindakan yang sama, berhubung posisinya sekarang kebalikan yang tadi. Bram berkali-kali menyenggol G-spot Mirna dengan lidahnya.
“Mmmhhh…. Aaa!!Mass Brammm!!”
Mirna terengah-engah karena kenikmatan melanda badannya. Tangannya gemetaran, mulutnya menganga. Tapi tiba-tiba Bram berhenti dan berdiri.
“Yahh??” Mirna merengek kecewa. Bram menatapnya dengan pandangan lapar… dan iseng. Bagaimana kalau kita main-main dulu… pikir Bram.
“Mas Bram… terusin dong…” pinta Mirna. Bram cuek.
“Gak mau.”
“Mas Braamm…”
Bram maju. Tangannya memegang tangan Mirna. Bibirnya mendekati bibir Mirna, seolah mau mencium, tapi sekali lagi Bram berkelit dan malah mengulum telinga Mirna. Sementara itu tangannya membawa tangan Mirna ke arah kemaluan Mirna.
“Main sendiri. Sana. Di depanku. Aku pengen lihat lonteku ngobok mekinya sendiri. Gih.”
Bram lalu mundur dan melepas tangan Mirna. Mirna diam sejenak, lalu dengan ragu-ragu mulai. Entah kenapa, biarpun kata-kata Bram tadi sangat melecehkan kalau dalam keadaan normal, Mirna justru malah terangsang mendengarnya. Dia membebaskan buah dadanya dari balik baju dan mencubit-cubit pentilnya yang mengencang. Tangan satunya lagi mengelus-elus bibir kemaluan.
“Kayak gini Mas?… Gimana… ah… ahhh… Lihat aku Mas…”
Bram sendiri sibuk mengocok anunya, sambil terus ngomong.
“Ya. Terus. Gitu. Masukin jarimu ke sana. Jangan cuma satu, tapi dua sekalian. Kobel terus. Gimana. Udah tahu gimana rasanya jadi sundal? Enak?”
“Ah… ah… Mas lihatin aku… enak mas…“
“Mainin terus tuh pentilmu… jepit, cubit. Ah, sayang susumu gak segede itu. Kalo lebih gede kamu bisa gigit-gigit sendiri tuh pentil. Remas terus. Pencet terus.”
“Maafin kalo kurang gede Mas… uh, ungh… Mas aku jangan dibiarin sendiri terus dong… isep toketku Mas…”
“Gak. Pokoknya aku mau lihat kamu sampe klimaks. Terusin aja ngentot jari-nya.”
“Ah… ah… iya Mas… ini kuterusin… engh…” Erangan Mirna diseling suara becek dari kemaluannya yang dia obok-obok sendiri.
“Gimana Mirna? Suka gak jadi lonte? Tau nggak, aku langsung ngaceng begitu lihat kamu yang dandan abis tadi. Sampe sekarang juga masih. Biarpun tadi udah, kayaknya sebentar lagi aku ngecrot lagi.” Bram terus memancing-mancing Mirna.
“Auhhh…. Engg… Hahh, iya, iya Mas, ah… ah…”
“Ini baru di dalam rumah. Coba kalo kamu tadi keluar. Bayangin orang banyak ngelihat kamu. Apa nggak konak semua mereka.”
Kata-kata Bram memancing khayalan Mirna. Bram tidak tahu tadi Mirna sempat ada di luar sebentar, waktu buru-buru pergi dari salon Sitha ke rumah. Tadi Mirna bersyukur tidak kepergok siapapun termasuk orang di mobil Mercy hitam yang lewat.
Sekarang dia membayangkan sendiri andai dia tadi kepergok. Bukan cuma oleh satu orang, tapi banyak. Dan mereka semua terangsang melihat penampilannya yang menggoda. Dan dia dikerubuti oleh mereka, dipegangi, ditelanjangi, dipaksa…
“AHH~!!” Bibir merah Mirna menganga, mengerang tertahan, selagi kepalanya tersentak ke belakang dan sekujur tubuhnya gemetar. Dia orgasme gara-gara khayalan tadi.
“Ah… hah… ah…” nafas Mirna tersengal-sengal setelah mencapai klimaks. Bram mendekati Mirna, setengah mati berusaha menahan semburan dalam kemaluannya, menarik Mirna, dan dengan lega menyemprotkan spermanya ke muka Mirna yang bermake-up tebal itu.
“CROTT…. CROTT…”
Mirna terduduk di lantai. Dia mau mengusap cairan lengket di mukanya, tapi Bram menahan tangannya.
“Biarin dulu! Aku mau lihat mukamu kayak gini!”
Bram melihat maninya berleleran melintang di pipi dan hidung Mirna. Muka pelacur yang habis dientot. Dia merasa lebih suka istrinya yang versi ini.
“Ahh… Maass…” Mirna merengek. Entah karena apa. Dan Bram merasa masih kuat melanjutkan. Tapi dia perlu istirahat sebentar—
“Gak pernah aku lihat kamu seseksi ini,” kata Bram. “Tuh, yang di bawah udah pengen lagi.”
“Kamu juga jadi lain, Mas…” Mirna bilang,
“Aku baru tahu… apa ini yang Mas dapat dari cewek-cewek lain itu?”
Bram agak kesal karena Mirna masih juga mengungkit-ungkit kebiasaannya, dan tidak menjawab. Dia malah menyuruh Mirna menungging di depannya. Mirna menurut, berharap Bram melanjutkan ronde 3. Biarpun sudah orgasme satu kali, Mirna masih ingin kemaluannya dipenetrasi. Dia merasakan tangan Bram di pinggangnya, sementara kemaluan Bram yang mulai tegang lagi menggosok-gosok bibir bawahnya.
“…masukin dong Mas…” bisik Mirna.
“Apa?” Bram pura-pura nggak mendengar.
“Masukin dong Maaas,” rengek Mirna.
“Masukin apa ke mana? Yang jelas dong?”
Mirna terdiam sebentar lalu berkata,
“Masukin kemaluanmu ke kemaluanku Mas…” dengan malu-malu.
“Bagus… kamu udah bisa ngomong kayak mereka,” celetuk Bram, sambil menyodok kemaluan istrinya.
Mirna tidak menjawab, dan cuma mendesah karena nikmat. Tapi Bram masih terus berniat menggoda istrinya. Sambil merapat ke punggung Mirna, Bram berbisik.
“Becek amat di dalam sana, licin. Hayo ngaku. Udah dipake berapa orang kamu hari ini, lonte?”
Mirna menggigit bibir, malu karena diledek Bram. Dia mendengking waktu Bram menampar pantatnya. Tapi ternyata beberapa lama kemudian Bram mencabut burungnya dari kemaluan Mirna. Sebelum Mirna sempat protes, Bram menggenggam satu tangannya dan mendorong Mirna ke arah sofa sampai kepalanya bersandar di sofa. Mirna bertanya-tanya apa mau Bram, tapi dia langsung sadar ketika Bram menowel-nowel lubang anusnya…
“Mas? Mas Bram mau apa…?”
“Mau merawanin pantatmu…”
Sesudahnya, ada jeritan yang sampai terdengar oleh Sitha di rumah sebelah. Sitha tersenyum puas mendengar suara berisik di rumah adik dan adik iparnya. Sarannya kepada Mirna untuk coba berubah menjadi seperti perempuan-perempuan yang fotonya ada di HP Bram sepertinya manjur.
Baguslah, pikirnya. Daripada Bram bawa pulang penyakit atau anak haram, mendingan dengan Mirna. Orang yang tadi datang dengan Mercy hitam baru saja pergi dari salon Sitha, puas dengan pelayanan Sitha dan memberi tips cukup banyak. Sitha kembali memulaskan lipstik di bibirnya; tadi lipstiknya terhapus ketika dia memberi servis blowjob kepada si pengendara Mercy.
Satu jam sudah berlalu sejak Bram pulang. Sekarang dia terlentang telanjang, mandi keringat, di ruang tamu. Di dadanya bersandar Mirna yang awut-awutan, make-up tebalnya luntur setelah entah berapa ronde berperan sebagai pelacur demi Bram.
Dari lubang duburnya yang terasa agak nyeri, mengalir sedikit benih Bram yang tadi dikeluarkan Bram di sana. Dua-duanya terlalu capek untuk ngobrol ataupun merasa bersalah. Yang jelas, Mirna merasa tambah yakin Bram tidak akan perlu lagi jajan di luar. Dan sepertinya, Mirna sendiri juga menemukan sisi baru dalam dirinya….