Malam mulai larut di daerah rawan kota. Sekelompok polisi mengendap-endap di kegelapan, bersiap untuk memasuki suatu kompleks bangunan besar yang kelihatan terbengkalai. Dari luar kompleks itu mirip pabrik yang sudah ditinggalkan, namun sebenarnya sudah diketahui bahwa tempat itu dijadikan penampungan oleh sindikat perdagangan manusia.
Di antara para petugas yang ikut serta dalam penggerebekan itu, terdapat seorang polwan bernama Kiani Irawati, berpangkat Ajun Inspektur Satu. Aiptu Kiani termasuk petugas yang berprestasi; sementara kebanyakan polwan di satuannya ditempatkan di bagian lalu lintas atau administrasi, semangat dan keberanian Kiani membuatnya berhasil memasuki satuan reserse. Kerja kerasnya dalam menyidik dan memberantas kejahatan membuat pangkatnya cepat naik dan boleh dibilang memancing rasa iri dari sesama rekannya yang laki-laki. Namun Aiptu Kiani tak begitu mempedulikan itu; dia fokus dengan pekerjaannya untuk menegakkan keadilan.
Dia terutama paling bersemangat memberantas sindikat pelacuran dan perdagangan manusia, karena kedua jenis kejahatan itulah yang paling dia benci dan ingin hapuskan dari muka Bumi. Penggerebekan malam itu pun terjadi atas hasil penyelidikan Aiptu Kiani dan desakannya kepada Kapolsek setempat, Ajun Komisaris Polisi Mauli. Sebelumnya, Aiptu Kiani sudah berhari-hari bolak-balik menyodorkan berkas-berkas dan bukti-bukti foto hasil pengintaian kepada AKP Mauli, namun sang Kapolsek tidak juga bereaksi.
Akhirnya setelah cukup lama AKP Mauli mengizinkannya melakukan penggerebekan. Di tengah kesunyian dan kegelapan malam, Aiptu Kiani dan rekan-rekannya mengendap-endap memasuki pagar kompleks itu. Mereka berpisah menjadi dua kelompok untuk mendobrak masuk ke bangunan terbesar di dalamnya. Kiani dan lima rekannya akan masuk lewat depan bangunan mirip gudang yang menjadi target operasi. Pintu besarnya terbuka sedikit. Sambil memegang senjata terkokang, Kiani pelan-pelan melebarkan pintu sementara rekan-rekannya menyalakan senter.
“Polisi!” teriak seorang petugas selagi mereka berlima masuk sambil menodongkan senjata. Yang menyambut mereka adalah ruangan kosong dan gelap. Cahaya senter yang disorotkan ke sekeliling ruangan memperlihatkan tumpukan peti-peti berukuran raksasa, seperti yang biasa dilihat di gudang pabrik. Mereka tidak menemukan saklar lampu.
“Kita masuk, selidiki…” kata Aiptu Kiani. Yang lainnya mengangguk lalu pelan-pelan bergerak. Tiba-tiba mereka mendengar bunyi berderak dari atas lalu…DOR! DOR! Bunyi tembakan memecah sepinya gudang itu dan membuat kelima polisi terpencar mencari perlindungan. Mereka berlima menyelinap di sela peti-peti raksasa, dalam suasana remang-remang, menghindari penembak yang mereka kira ada di atas.
Terdengar suara langkah orang berlari menginjak permukaan peti; Kiani menduga ada banyak orang selain mereka di dalam gedung itu, berlari-lari di atas tumpukan peti. Posisi para polisi kurang bagus karena penyerang mereka ada di atas. Ditambah lagi, mereka bergerak dalam gelap, hanya dibantu senter yang mereka bawa. Kelompok yang masuk dari belakang belum bertemu dengan mereka.
Kiani berlindung di gang di antara dua peti raksasa, menggenggam pistol dengan kedua tangan, berdebar-debar. Dia tidak tahu posisi teman-temannya. TRAK! TRAK! TRAK! Kiani mendengar langkah-langkah dan melihat bayangan orang berkelebat di atas. Ada orang di atas peti di depannya! Kiani langsung melepaskan tembakan ke arah bayangan itu. Bunyi pistol bergema di dinding-dinding peti di sekelilingnya, membuat kedua telinganya berdenging. Kiani meringis selagi melihat bayangan itu terus bergerak; tembakannya tidak kena. Dia terpancing untuk mengikuti gerakan orang yang tadi mau ditembaknya, dan bergerak mengejar menyusuri sela-sela peti.
Ketika mengejar sambil mengikuti gerakan buruannya di atas, Kiani lengah dan tidak melihat arah larinya. Dia tersandung dan terjatuh; pistolnya terlepas dari genggaman. Sebelum dia mampu bangkit lagi, dia merasakan ada dua orang mendekatinya. Kiani merasakan salah satunya memukul tengkuknya. Sang polwan berusaha bertahan, namun pandangannya jadi kabur dan dia pun kehilangan kesadaran.
Selain gigih dan bersemangat, Aiptu Kiani Irawati juga bisa dibilang berpenampilan menarik. Tubuhnya yang jangkung dan atletis karena latihan fisik rutin itu tetap memiliki lekuk-lekuk yang feminin, dengan dada berukuran 36C, sepasang kaki panjang dan indah, perut rata, dan pantat kencang. Wajahnya yang cantik dibingkai rambut yang dipotong pendek sesuai ketentuan namun tetap apik. Dalam seragam polisi pun dia tetap tampak menawan. Kiani belum menikah, namun sejauh ini dia sudah menampik lamaran dan pendekatan beberapa rekan sesama polisi. Dia merasa belum berminat untuk berkeluarga dan masih ingin melanjutkan perjuangannya memberantas kejahatan. Dalam keadaan pingsan pun dia tetap tampak menawan.
Itulah yang dirasakan seorang laki-laki bertato, berjaket hitam, dan berkacamata hitam yang sedang menghadapi Kiani Irawati yang digeletakkan dalam keadaan tidak sadar di depannya. Sebagai seorang pedagang manusia, dia biasa menilai harga perempuan-perempuan yang telah dia jerat untuk dijebloskan ke dunia prostitusi. Polwan ini, yang dibawa anak buahnya setelah mereka berhasil melumpuhkan penggerebekan polisi terhadap salah satu lokasi tempat operasinya, berharga tinggi. Tapi dia tidak akan memperlakukannya sama dengan gadis-gadis kampung yang ditipu dengan iming-iming pekerjaan lalu dia jual ke tempat-tempat hiburan di dalam dan luar negeri. Yang ini beda.
“Siapkan dia,” perintah si pemimpin sindikat.
Sejumlah orang segera mengerubungi polwan cantik yang pingsan itu.
*****
Kiani merasakan posisi tubuhnya berdiri ketika dia sedikit demi sedikit sadar dari pingsannya. Lengannya terangkat ke atas; dia merasakan kedua pergelangan tangannya diikat dan ikatannya terhubung dengan sesuatu yang menggantung di atas depan kepalanya. Berikutnya dia rasakan kedua kakinya menjejak suatu permukaan keras, tapi tidak bisa bergerak kaena pergelangan kakinya juga terikat. Posisi kedua kakinya merentang membentuk huruf V terbalik. Tubuhnya berposisi membungkuk sedikit ke depan. Gelap, dia tak bisa melihat apa-apa. Tapi dia masih bisa merasakan bahwa dia masih berpakaian.
Tiba-tiba ruangan tempat Kiani berada menjadi terang. Kiani silau sesaat, lalu membelalak ketika menyadari dia sedang berada dalam satu ruangan yang seluruh dindingnya dipasangi cermin, mirip suatu studio senam atau dansa. Maka Kiani bisa melihat bayangannya sendiri, dan dia kaget karenanya. Dugaannya mengenai posisi tubuhnya tidak salah; kedua pergelangan tangannya memang terikat dan berposisi di atas kepala. Ketika dia melihat ke bawah, kedua pergelangan kakinya terikat ke satu batang besi, berposisi sedemikian sehingga dia dipaksa setengah mengangkang. Namun dia paling terkejut melihat penampilannya sendiri. Kiani sehari-hari hanya mengenakan seragam polisi dan jarang berdandan. Itu sebabnya dia terkejut melihat penampilan sosok perempuan terikat di cermin besar di hadapannya.
Perempuan itu bermake-up tebal, dengan eyeshadow biru dan lipstik merah terang. Lehernya dikelilingi kalung ketat mirip kalung anjing dengan cincin yang terkait dengan rantai di depan. Dan dia mengenakan pakaian yang seumur hidup belum pernah dia pakai: kemben pendek hitam dari bahan yang menerawang; rok lipit merah kelewat pendek yang sepertinya menutup bagian bawah pantatnya pun tidak; stocking jala hitam setinggi setengah paha; dan sepatu platform ber-hak tinggi warna merah hitam yang mencolok. Hanya rambutnya saja yang tidak diapa-apakan.
“Apa… apa-apaan ini…” bisiknya kepada diri sendiri. “Kenapa aku jadi seperti ini?”
Jawabannya segera tiba. Di hadapannya, muncul banyak laki-laki bertampang seram. Yang memimpin mereka adalah seorang laki-laki berjaket kulit hitam dan berkacamata hitam. Kiani melihat leher laki-laki itu bertato; di kedua punggung tangannya pun terlihat tato, jadi mungkin si Jaket Hitam sekujur tubuhnya bertato seperti anggota Yakuza. Sebagian wajah si Jaket Hitam tertutup kacamata hitam besar, namun Kiani bisa melihat dia tercukur rapi dan senyum licik melintang dibingkai garis rahangnya yang tegas. Si Jaket Hitam menggenggam kain berwarna coklat di tangannya.
“Kiani Irawati,” kata si Jaket Hitam, membaca tulisan yang tertera di gumpalan kain coklat yang tadinya adalah seragam Kiani itu. “Eh, maaf ni seragamnya rusak gara-gara anak buahku gak becus bukain baju cewek. Maklum, biasanya mereka main sobek aja. Suka nggak sama gantinya yang lagi kamu pakai sekarang?”
“Kamu…” Kiani berusaha menggertak. “Lepaskan saya sekarang juga. Jangan macam-macam dengan polisi!”
“Ckckck, galak amat si non,” ejek si Jaket Hitam. “Kalau aku nggak mau, emangnya kenapa? Nggak bisa gitu dong. Aku paling nggak suka kalau ada orang ganggu urusanku. Termasuk polisi.”
“Kamu penjual manusia!” teriak Kiani. “Justru bajingan macam kamu mesti diberantas. Tunggu saja, sekarang pasti back-up dari kantor bakal datang ke sini!”
“Mana? Dari tadi nggak ada tuh. Jangan sombong, non. Mentang-mentang pake seragam polisi, terus kamu bisa ngebacot seenaknya di depanku? Cuh! Perempuan gak tahu diri,” ancam si Jaket Hitam.
“Jahanam!” teriak Kiani yang masih berani. “Aku tahu apa saja dosamu. Kamu jerumuskan gadis-gadis yang polos, pura-pura menawari pekerjaan, padahal mereka terus kamu jual ke pelacuran! Manusia hina! Kalau tertangkap, kamu bakal masuk penjara seumur hidup sampai busuk!”
“Eh, banyak bacot kamu. Dengar ya, aku ini pengusaha baik-baik. Anggap saja penyalur tenaga kerja. Aku beneran nawarin kerjaan kan? Mereka juga awalnya mau kan diajak kerja? Salahin tuh pemerintah yang gak becus nyediain lapangan kerja. Aku sih bantu mereka biar bisa cari duit,” kata si Jaket Hitam.
Apanya yang ngebantu?” seru Kiani gusar. “Memangnya aku nggak tahu kamu apakan saja gadis-gadis itu? Kamu… kamu siksa mereka! Kamu perkosa mereka! Kamu iblis!”
“Cerewet! Sudah cukup ngomongnya,” kata si Jaket Hitam.
Dia memungut segumpal kecil kain, yang Kiani kenali. Itu celana dalamnya sendiri. Kiani jadi sadar juga bahwa di bawah rok superpendek yang dipakaikan anak buah si Jaket Hitam, dia tidak pakai apa-apa.
“Mmphh!!” Kiani memprotes tanpa hasil ketika celana dalamnya sendiri dijejalkan ke mulutnya oleh si Jaket Hitam.
Si Jaket Hitam kemudian menjulurkan tangan ke belakang, meminta sesuatu ke anak buahnya. Rupanya satu lagi perlengkapan Kiani, pentungan karet. Kiani membelalak, memandangi si Jaket Hitam, bersiap menerima pukulan dari pentungannya sendiri. Tapi bukan itu yang dilakukan si Jaket Hitam.
“Tahu nggak, sayang bener kamu jadi polisi, kata si Jaket Hitam, ketika berdiri tepat di depan Kiani. “Bisa lihat sendiri bayangan kamu kan. Aku aja lebih seneng lihat kamu kayak gini. Kamu cakep, badanmu bagus, dadamu gede,” si Jaket Hitam mengatakan itu sambil menyentuhkan ujung pentungan ke payudara kiri Kiani yang menyembul di balik kemben transparan. “Kamu lebih cocok pakai baju ini, dandan yang cantik, daripada pakai seragam coklat jelek itu. Pasti banyak yang suka sama kamu, dan kamu bakal cepat dapat banyak duit. Mau ikut aku aja? Daripada kamu kerja begini, gaji kecil, dicela-cela masyarakat, ntar juga mesti korupsi biar bisa hidup. Kamu mau, Kiani?”
Kiani tidak bisa ngomong karena mulutnya disumpal celana dalam, dia hanya menggeleng sambil memandangi Jaket Hitam dengan tatapan benci.
“Tidak?” kata si Jaket Hitam sambil tersenyum mengejek. “Tahu nggak, aku paling nggak suka sama perempuan yang bilang tidak.”
Jaket Hitam tertawa dan Kiani langsung melotot ngeri ketika dia merasakan ujung pentungan karet yang digenggam musuhnya mengelus-elus kemaluannya. Kembali Kiani menggelengkan kepala, namun kali ini ekspresinya berubah menjadi takut. Andai tidak dibungkam, mungkin kata-kata yang keluar adalah permohonan agar yang hendak dilakukan si Jaket Hitam jangan dilakukan. Jaket Hitam tidak peduli. Setelah cukup lama menggosok-gosokkan ujung pentungan itu ke kemaluan Kiani, Jaket Hitam merogoh ke bawah, menjolokkan satu jarinya sedikit ke dalam belahan kemaluan Kiani. Polwan itu terpekik; Jaket Hitam dapat merasakan basah di jarinya…
“Udah siap nih…” kata Jaket Hitam sambil nyengir.
Kiani berusaha meronta melepaskan diri tapi ikatan di tangan dan kakinya membuat dia tak mampu menghindar dari nasib buruk yang akan segera menimpanya. Dan datang pula tindakan keji itu. Si Jaket Hitam menjolokkan pentungan karet ke dalam kemaluan Kiani yang perawan, menembus lapisan tipis perlambang kesucian Kiani sebagai seorang gadis. Kiani merasakan sakit di selangkangannya dan air mata mengalir dari sudut matanya selagi dia menyadari betapa tak berdayanya dia di tangan bajingan ini. Tiba-tiba Kiani teringat dengan keluarganya yang tinggal di kota lain, ayah ibunya yang selalu membangga-banggakan dia, dan janjinya sendiri kepada mereka untuk selalu menjaga diri. Hari itu Kiani mesti mengorbankan sesuatu yang sangat berharga baginya sebagai risiko pekerjaannya.
Darah perawan yang mengalir sepanjang pentungan dicolek sedikit oleh Jaket Hitam, lalu dengan kejam dia menunjukkan jarinya yang bernoda darah itu ke depan mata Kiani. Jaket Hitam melanjutkan ejekannya dengan mengulum jari itu. Kiani hanya bisa menangis sambil terbungkam. Si Jaket Hitam mendesakkan lagi pentungan polisi itu ke dalam kemaluan Kiani, lalu melepas pegangannya. Polwan yang baru diperawani itu kini berdiri agak membungkuk dengan kaki setengah mengangkang, dan terlihat sebatang pentungan karet tertancap tak senonoh di balik rok mininya, dengan sedikit darah mengalir di permukaannya. Si Jaket Hitam tertawa, lalu menyuruh anak buahnya mendekat. 12 laki-laki bertubuh besar dan bertampang seram lalu mengerubungi Kiani.
“Silakan dinikmati,” kata si Jaket Hitam yang lantas berbalik keluar dari kerumunan itu.
Kiani hanya bisa memandang ketakutan selagi wajah-wajah seram dan bernafsu di sekelilingnya mendekat. Salah seorang di antara mereka kemudian mencubit-cubit putingnya, membuat Kiani meringis walau cubitannya tidak keras. Kiani merasa dikhianati tubuhnya sendiri karena putingnya terasa lebih keras. Seorang di antara mereka yang berkepala botak menarik kaos kemben yang dipakai Kiani ke atas sehingga sepasang payudara 36C Kiani terpamerkan di depan mereka. Si Botak kemudian meraih payudara kanan dan mulai menjilati puting Kiani. Lidah si Botak menjalar dari ujung puting ke areola berwarna gelap di sekelilingnya. Kemudian, si Botak membuka mulutnya lebar-lebar dan mencoba melahap sebanyak mungkin bagian payudara Kiani. Kiani meronta-ronta, tapi tubuhnya dipegangi oleh yang lain. Mau teriak jelas tidak bisa karena mulutnya tersumpal celana dalam. Namun di antara teriakannya, terselip satu erangan yang dianggap orang-orang sekelilingnya sebagai tanda Kiani mulai terbawa birahi. Mendengar itu si Botak makin semangat mengisap payudara Kiani.
Tak lama kemudian, tangan kirinya meremas payudara kiri sang polwan sementara tangan kanannya turun ke paha Kiani.
“Eh, tangan lu mau ke mane tuh?” seorang teman si Botak yang berambut gondrong berkomentar iseng.
Si Botak mencabut pentungan yang memerawani Kiani, dan mulai menjamah bibir vagina Kiani. Sekali lagi erangan lembut keluar dari mulut Kiani. Si Botak langsung menjebloskan satu jarinya ke dalam kemaluan Kiani yang basah. Tak lama kemudian dia memasukkan satu jari lagi sambil mengocok-ngocok bagian dalam vagina Kiani. Kiani meronta-ronta tanpa daya.
“Mhhghh!!” desah Kiani, tak mampu menahan sensasi yang ditimbulkan jari-jari si Botak.
Si Gondrong kini ikut beraksi, dia bergerak ke belakang Kiani lalu ikut merogoh kemaluan Kiani. Kiani mendengar suara resleting dibuka. Si polwan menoleh ke belakang dan menyadari apa yang mau dilakukan si Gondrong. Anak buah si pedagang manusia itu menyibak rok supermininya dan menggenggam kedua sisi pantatnya, membuka belahan pantatnya sampai lubang duburnya terlihat… Kiani panik ketika sadar apa yang mau dilakukan si Gondrong. Polwan yang malang itu makin keras meronta, berusaha melepaskan diri dari penganiayaan seksual yang dialaminya. Kiani pun merasakan sesuatu menempel di pintu masuk bokongnya…kepala penis si Gondrong. Dia menjerit dan berusaha menggerakkan pantatnya agar menjauh dari calon penerobos itu, tapi dua orang lagi yang mengerumuninya, satunya brewokan sementara satunya lagi berambut cepak dengan codet besar di dahi, menahan tubuhnya sehingga dia tak bisa lolos. Pelan-pelan kepala burung si Gondrong mendesak lingkaran pintu duburnya dan mulai menerobos liang pantatnya.
Di tengah rasa sakit akibat awal pemerkosaan terhadap pantatnya, tiba-tiba Kiani kuatir dia bisa cedera lebih parah kalau dia terus bergerak. Si Gondrong terus mendesakkan burungnya yang panjang itu ke dalam ujung belakang saluran pencernaan Kiani sementara si Botak di depannya ganti mengenyot-ngenyot payudara kiri Kiani sambil mengobel kemaluan Kiani dengan tiga jari. Si Brewok dan si Codet mulai memegang-megang tubuh Kiani juga. Begitu seluruh penisnya masuk ke dubur Kiani, si Gondrong bilang ke teman-temannya,
“Sempit banget nih bo’olnya! Kenceng jepitannya, gue ampe ga bisa gerak!”
Sesudah ngomong begitu, si Gondrong langsung menyodomi Kiani dengan penuh semangat, dengan cepat memaju-mundurkan pinggangnya menggempur pintu belakang si polwan tanpa ampun. Kiani menjerit-jerit selagi tubuhnya yang dikekang terguncang-guncang dan penis si Gondrong merojok saluran pembuangannya. Tapi rupanya si Gondrong memang terlalu bersemangat, dan tidak lama kemudian Kiani merasakan semburan hangat di dalam tubuhnya. Kiani meringis dan berusaha menguatkan diri. Untuk pertama kalinya tubuhnya dinodai benih lelaki. Tapi semangat Kiani masih membara. Dia merasakan bahwa inilah risikonya memerangi kejahatan. Orang lain bisa cacat atau tewas dalam tugas. Mungkin diperkosa juga termasuk risiko. Andai dia bisa lepas dari pelecehan ini, Kiani berjanji, dia akan penjarakan semua bajingan yang telah menodainya.
“Hahaha, cepet amat lu?” si Brewok mengejek si Gondrong.
“Diem lu, asu,” kata si Gondrong yang benar-benar kesal karena kecepatan muncrat.
Si Brewok mencabut celana dalam yang menyumpal mulut Kiani, dan langsung dihadiahi semprotan ludah dari si polwan.
“E-e-e, kok galak banget?” si Brewok cuma tertawa sambil menyeka wajahnya yang diludahi. Si Brewok lantas menggenggam wajah Kiani dan memuji, “Cakep juga ya lonte kita?”
“Polwan dia, bukan lonte,” kawannya, si Codet, membetulkan.
“Mana ada polwan bajunya kayak gini? Yang biasanya pake rok mini ama kemben terus ngangkang di pinggir jalan kayak dia ini ya jablay,” balas si Brewok.
“Awas kalian semua!” Kiani masih berani mengancam. “Kalau sampai ketangkap biar kalian dihukum seberat-berantny… MMMM!!”
Si Brewok membungkam Kiani dengan cara mencium paksa. Bersamaan dengan itu, si Botak makin kencang mengobel kemaluan Kiani, jari-jarinya keluar-masuk dengan begitu cepat. Kiani belingsatan akibat aksi jari si Botak. Dia meronta-ronta dengan liar dan terengah-engah.
“Eh, memek dia udah becek banget nih!” seru si Botak selagi Kiani mulai mengerang-erang gelagapan.
Si Botak rupanya sangat ahli memainkan jari-jarinya. Kiani mencoba untuk melawan rangsangan kenikmatan yang diberikan, tapi dia sulit sekali melakukannya. Beda dengan ketika diperawani dengan pentungan maupun disodomi oleh si Gondrong tadi. Yang dia rasakan hanya sakit sehingga dia lebih mudah menolak kedua tindakan itu, biarpun hanya dalam niat. Tapi lihainya jari-jari si Botak menjolok, menowel, dan mengelus membuat tubuh Kiani berkhianat dan jatuh ke godaan nafsu. Pikiran Kiani mulai goyah dan buyar. Polwan itu mencoba menyangkal, tapi gagal. Ciuman si Brewok berakhir, dan dalam hitungan detik, Kiani melolong.
“OooooOOOOHHH!!!”
Orgasme pertama yang pernah dirasakannya itu membuat tubuh Kiani terkejang-kejang dan akhirnya terkulai. Andai tangannya tidak terikat ke tali yang menggantung, mungkin Kiani bakal ambruk ke lantai.
“Hei lonte! Enak kan kobelan gue?” si Botak meneriaki Kiani.
“Aku… bukan… lonte…” rintih Kiani di sela nafasnya yang tersengal-sengal.
Si Jaket Hitam, setelah melihat Kiani kelelahan karena orgasme, menyuruh anak buahnya melepas ikatan sang polwan. Kiani tetap tak bisa bergerak meski seluruh ikatannya sudah dilepas karena anak buah si Jaket Hitam memeganginya. Si Jaket Hitam mendekati Kiani dengan membawa sesuatu. Kiani tidak sempat melihat apa benda itu, tapi dia langsung merasakannya: sebuah jarum suntik yang ditusukkan si Jaket Hitam ke lengan atasnya. Kiani menjerit sejenak, kaget dan kesakitan. Obat penenang ringan yang disuntikkan ke tubuh Kiani cepat bereaksi. Polwan itu jadi kehilangan keinginan untuk meronta dan melawan. Timbul rasa hangat yang menentramkan di tubuhnya. Si Jaket Hitam memerintahkan anak buahnya melepas Kiani. Karena sudah dipengaruhi obat, Kiani tak berusaha bangkit.
“Enghh…” desah Kiani selagi tubuhnya bergulung dari posisi menyamping ke telentang.
Tanpa dapat melawan, tangannya bergerak sendiri mencengkeram payudaranya yang besar. Bukan cuma obat penenang yang barusan memasuki tubuh Kiani, tapi juga obat perangsang. Si Jaket Hitam merogohkan tangannya ke selangkangan Kiani yang banjir, meraup cairan kewanitaan Kiani, lalu mendekatkan tangannya yang basah ke hidung Kiani. “Tuh, cium. Memek kamu sendiri tuh. Becek pertanda pengen. Sudah sadar belum kalau kamu itu cuma lonte?”
“Ahhh!” Kiani mendesah selagi si Jaket Hitam menusuk-nusukkan tiga jari keluar-masuk vaginanya.
Tapi setiap kali Kiani akan mengalami klimaks, si Jaket Hitam berhenti. Si penjual gadis itu memang ahli; dia tahu bagaimana cara menyiksa perempuan dengan merangsang sampai nyaris orgasme tapi tidak membiarkan mereka mencapai kenikmatan puncak. Sudah beberapa menit dia memain-mainkan Kiani dengan cara itu. Dia memandangi korbannya sambil senyum sadis. “Terus?”
“Jangannnn…” suara lirih Kiani menunjukkan dia masih sedikit sadar, dan berusaha menolak perlakuan si Jaket Hitam.
“Terusin aja, ya,” si Jaket Hitam melanjutkan godaannya terhadap tubuh Kiani. “Kok memek kamu ngejepit jariku ya. Kamu pengen terus kan? Mulut yang atas bilang jangan tapi yang bawah bilang pengen. Yang mana nih?”
“Ah… ahh… Nghaa!!” Kiani merajuk ketika si Jaket Hitam kembali mencabut jari-jarinya. Si Jaket Hitam mengusapkan jari-jarinya yang berlumuran cairan cinta itu ke rok merah Kiani.
“Bos, udah boleh belum?” si Codet bertanya, karena dari tadi belum sempat melakukan apa-apa.
“Sabar. Tunggu sampai dia minta sendiri,” kata si Jaket Hitam sambil nyengir. “Kelihatannya sih dia udah pengen, cuma dia gengsi aja gak mau bilang.”
“Ahh… ahh…” Kiani mendesah-desah seksi, badannya ingin mencapai klimaks lagi. Pikirannya syok. Dia tidak mengerti kenapa badannya berkhianat dan menanggapi jamahan penjahat-penjahat cabul itu. Dia juga tidak habis pikir kenapa badannya terasa meminta disetubuhi mereka. Lebih parah lagi, ketika dia menoleh dan melihat bayangan wajahnya sendiri di cermin yang menutup seluruh dinding ruangan, dia bisa melihat betapa mesum wajahnya ketika si Jaket Hitam sedang mencolok-colok alat kelaminnya. Rasa malu mulai melanda si polwan. Nafasnya mulai memburu, kedua buah dadanya yang besar dan indah itu naik turun.
“Ayo mulai lagi,” kata si Jaket Hitam sambil memasukkan jari-jarinya lagi ke alat kelamin Kiani. Dia menggerakkan jari-jarinya perlahan keluar-masuk. Senyumnya tambah lebar waktu merasakan dinding vagina Kiani mulai mencengkeram jari-jarinya.
‘Harus tahan. Harus melawan. Nggak boleh kalah dengan nafsu. Ini tidak benar,’ Pikiran Kiani berusaha melawan.
Kiani memalingkan muka, tidak mau memandang si Jaket Hitam. Tapi si pedagang manusia malah mendapat sasaran baru: dia meniup dan mengulum telinga Kiani sambil terus mengocok kemaluan Kiani. Otot-otot vagina Kiani mengetat di sekeliling jemari si Jaket Hitam. Ruangan itu kini penuh bunyi nafas dan desahan, ditingkahi bunyi becek dari kemaluan Kiani. Tapi si Jaket Hitam tidak mau membiarkan Kiani mencapai klimaks. Dia tiba-tiba menarik jarinya tepat ketika Kiani mulai terlihat keenakan.
“Jangaann!!” ratap Kiani. Tubuhnya terasa panas terbakar nafsu. Dia sudah tidak tahu apa yang mau dia bilang: jangan lakukan atau jangan hentikan?
“Jangan stop gitu maksudnya? Bilang aja kalau pengen, dasar lonte,” kata Jaket Hitam.
Kiani mulai tak mampu menahan pengaruh obat perangsang yang telah disuntikkan dan ulah si Jaket Hitam yang berkali-kali membawanya nyaris ke puncak kenikmatan namun selalu berhenti. Polwan cantik itu frustrasi, jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya gemetar selagi dia dibuat menggeliat-geliat akibat terlanda birahi. Tinggal sedikit lagi, pertahanannya akan bobol. Jaket Hitam menyelipkan lagi dua jarinya ke belahan kewanitaan Kiani. Kali ini nanggung, seolah tidak berniat memasukkannya. Dan Kiani tak tahan lagi. Tangan Kiani menahan tangan si Jaket Hitam agar tidak pergi.
Si Jaket Hitam tertawa. “Eits, mau apa nih?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kok dipegangin?”
Kiani menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Dia tahu dia tidak kuat lagi menahan nafsu. Dia ingin jari-jari si Jaket Hitam, dan bukan hanya itu, memasuki vaginanya, menerobos kewanitaannya, membawanya ke puncak gairah…
“Kamu pengen?” bisik si Jaket Hitam ke telinga Kiani, disusul jilatan sepanjang cuping telinga Kiani dari bawah ke atas.
“IYA!!” jeritan Kiani pecah, tidak lagi peduli apa akibatnya. “Tolong… gituin lagi… jangan godain… augh… ahh…”
Serta-merta si Jaket Hitam menarik jarinya dan menyerahkan Kiani ke tangan belasan anak buahnya yang sudah merubung. Segera saja satu orang duduk di lantai, menarik Kiani ke atas pangkuannya, lalu menyetubuhi Kiani dengan posisi woman on top. Orang kedua memposisikan diri di belakang Kiani lalu menggagahi pantat Kiani. Kiani menjerit kesakitan karena orang tadi memaksa memasukkan penisnya dengan kasar. Orang ketiga melihat mulut Kiani terbuka lebar, lalu menggenggam wajah Kiani dan memerkosa mulut Kiani. Orang keempat dan kelima menggenggam tangan kiri dan kanan Kiani dan memaksa Kiani mengocok kemaluan mereka. Yang lainnya menunggu giliran dengan tak sabar selagi si polwan menjerit-jerit ketika dipaksa melayani begitu banyak laki-laki…
*****
“Minggir!” seorang petugas polisi berusaha menghalau para juru foto dan wartawan yang entah bagaimana caranya sudah merubung TKP. “Bubar semua!” Beberapa petugas lain sampai terpaksa menendang dan merampas kamera para nyamuk pers itu karena mereka tidak juga mau pergi.
“Waduh,” gumam seorang perwira polisi bertubuh gemuk yang bertahi lalat di pipinya ketika dia mendekati pusat perhatian para wartawan tadi.
Polisi gemuk itu, Kapolsek AKP Mauli, geleng-geleng kepala. Anak buahnya sudah berhasil mengusir semua orang selain polisi yang merubung TKP. Tapi yang jelas semua wartawan tadi sudah mendapatkan foto pemandangan yang baru bisa dilihat AKP Mauli. Rombongan AKP Mauli dan anak buahnya datang ke kompleks bangunan yang tadi digerebek Aiptu Kiani Irawati dan beberapa anggota lain. Tim penggerebek ternyata disergap ketika berada di dalam gudang dan beberapa orang terluka kena tembak.
Jumlah mereka kalah banyak dan mereka terpaksa mundur, namun ketika mundur mereka kehilangan Aiptu Kiani yang tertangkap oleh para penjahat. Mereka meminta bantuan, namun oleh AKP Mauli mereka disuruh mundur dulu ke Polsek, sambil membawa anggota yang terluka. Lima jam kemudian AKP Mauli baru mengerahkan tim penyelamat yang dipimpinnya sendiri ke tempat kejadian. Orang-orang sindikat perdagangan manusia telah lari entah ke mana, tapi para wartawan foto justru lebih dulu datang ke sana. Ketika menggeledah semua bangunan di kompleks, ditemukanlah satu ruangan dengan dinding-dinding cermin.
Di situlah AKP Mauli dan anak buahnya, serta para wartawan sebelum mereka, menemukan Aiptu Kiani Irawati. Kiani Irawati tergeletak tak sadarkan diri di lantai, dengan tubuh nyaris telanjang. Di dekatnya terlihat kemben dan rok mini merah, keduanya bekas disobek paksa. Kedua kaki Kiani masih mengenakan stoking jala dan sepatu hak tinggi; di wajahnya terlihat bekas-bekas make-up tebal yang sudah berantakan. Di seluruh tubuhnya terlihat bekas-bekas cipratan mani; cairan putih benih lelaki juga terlihat berleleran dari mulutnya dan vaginanya yang tak tertutup apapun. Sementara, yang lebih mengenaskan, di lubang duburnya menancap pentungan karet polisi. Pentungan itu masuk cukup dalam. Tanpa banyak bicara, AKP Mauli menyuruh anak buahnya mengevakuasi Kiani dan menyegel TKP. Tapi sebelumnya dia tak lupa menyuruh TKP dipotret untuk dokumentasi. Lengkap seperti ketika ditemukan.
*****
Beberapa hari kemudian
Insiden penggerebekan yang gagal itu langsung diberitakan di koran. Pers tidak menyia-nyiakan berita kriminal yang berpotensi meledak dan berbumbu seks. Sementara koran-koran serius hanya menyelipkan artikel kecil di halaman kriminal, koran-koran kelas rendah dan sensasional mengeksploitasi habis-habisan kisah Kiani, polwan cantik yang bernasib naas dan dinodai komplotan penjual perempuan. Foto-foto Kiani dalam keadaan ketika ditemukan oleh para wartawan, setelah disensor, melengkapi berita-berita itu, berikut foto wajah Kiani dalam keadaan normal yang entah mereka dapat dari mana.
Satu koran malah sampai membuat laporan berbentuk narasi fiksi yang seolah menceritakan peristiwa yang dialami Kiani, dengan ditambah-tambahi rincian yang bersumber dari imajinasi cabul penulisnya. Foto-foto Kiani, dalam versi tak tersensor dan menampilkan Kiani dalam keadaan telanjang dan ternoda, juga menyebar di internet dan segera jadi bahan pembicaraan di komunitas-komunitas penggemar konten dewasa di Internet. Lalu, pda suatu hari, di internet muncul video amatir yang menampilkan Kiani ketika di-gangbang oleh para anak buah si Jaket Hitam. Identitas Kiani dalam video itu langsung dikenali karena ada beberapa kali sorotan cukup jelas ke wajahnya, ditambah lagi para pemburu bokep di Internet sudah hafal dengan wajah Kiani dari foto-foto sebelumnya.
Beberapa foto Kiani dalam keadaan normal dan berseragam juga muncul dari sumber yang tak jelas, seolah mau menegaskan identitas Kiani sebagai seorang polwan. Kepolisian jelas kebakaran jenggot melihat publikasi tak terduga atas seorang anggotanya yang sebenarnya bernasib malang itu. Sempat dilayangkan surat peringatan kepada redaksi beberapa koran yang memberitakan pemerkosaan Kiani secara bombastis, tapi beritanya keburu beredar dan pernyataan maaf yang dimuat setelah diberi surat peringatan tidak dihiraukan orang.
Sementara itu, tidak ada yang bisa dilakukan terhadap bahan-bahan yang beredar di Internet. Jutaan orang bisa mengaksesnya dari ribuan sumber. Menteri yang mengurusi internet mencoba turun tangan dengan menyuruh blokir beberapa situs, tapi pemblokiran malah mengundang kecaman dari pengguna internet lain karena tidak tepat sasaran dan malah membuat berbagai situs biasa ikut terblokir.
Seorang ahli telematika sempat berkomentar di media bahwa pemeriksaannya menunjukkan bahwa foto-foto dan video itu palsu, tapi kredibilitas orang yang mengaku ahli ini sangat diragukan dan masyarakat tak menggubrisnya. Yang paling dirugikan atas semua pemberitaan itu jelas Kiani. Dalam sekejap dia mendapat ketenaran yang tak diharapkan, dan dia menjadi objek fantasi seks banyak orang. Padahal dia baru saja mengalami sesuatu yang sangat mengerikan dan menggoncangkan. Apalagi kasusnya menjadi perhatian masyarakat, akibat pemberitaan yang begitu gencar. Ketika dirawat sementara di rumah sakit untuk pemulihan trauma pun wartawan mendatanginya untuk mewawancara maupun memotret. Ketika kepolisian melarang wartawan mendekati Kiani, mereka mengalihkan perhatian dengan mencoba mewawancara orangtua Kiani yang tinggal di kota lain. Yang terjadi malah berdampak buruk: orangtua Kiani malah stres karena dicecar wartawan dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang tak etis dan tak berperasaan. Sampai-sampai akhirnya mereka berdua jadi sakit karena terganggu.
Setelah kesehatannya pulih pun Kiani mengalami depresi cukup berat. Dia tak lagi mampu kembali bertugas sebagai polisi seperti normal, dan harus menjalani rehabilitasi. Tiga bulan kemudian, Kiani meminta dibebastugaskan. Enam bulan sesudah penggerebekan yang berujung pemerkosaan terhadap dirinya, Kiani Irawati menghilang dari peredaran. Tak seorang pun tahu ke mana perginya mantan polwan cantik yang bernasib naas itu. Sementara itu, foto-foto dan video Kiani terus beredar di internet. Memang begitulah adanya. Sekali sesuatu terpasang di internet, hampir mustahil melenyapkannya.
*****
Setahun kemudian
Laki-laki gendut dengan tahi lalat di pipinya itu dipersilakan duduk di meja terbaik, tepat di depan panggung di tengah klub malam yang temaram namun hingar-bingar dengan musik. Lima orang sexy dancer baru saja menyelesaikan tarian erotis yang menggoda para pengunjung klub, yang berkerumun di sekeliling panggung dengan tampang mupeng sambil bersuit-suit dan berusaha menjamah mereka. Seorang pembawa acara yang kebanci-bancian mengumumkan pertunjukan berikutnya.
“Yang berikutnya… pendatang baru di sini… Miss KIANI!!!”
Semua lampu mendadak dimatikan dan musik berhenti, lalu berganti irama hip-hop dengan lirik menjurus cabul. Seberkas sinar terang menerangi panggung, menunjukkan sesosok tubuh perempuan di tengah-tengahnya. Perempuan itu duduk di satu bangku dan menunduk, sehingga wajahnya tak jelas terlihat. Pakaiannya adalah kostum mirip seragam polisi wanita, tapi jelas-jelas bukan seragam polwan betulan karena mustahil ada polwan yang berani bertugas dengan pakaian seseksi itu. Dia mengenakan blus ketat berwarna biru berlengan pendek yang tidak sampai menutup perut, tapi lengkap dengan lencana dan tanda pangkat bohongan.
Dia juga mengenakan rok lipit supermini hitam yang cuma menutup sampai bagian atas paha, dengan ikat pinggang lebar dan borgol yang menggantung di sana, juga sepasang sepatu but hitam ber-hak tinggi yang jelas-jelas bukan yang biasa dipakai polwan betulan. Di kepalanya dia juga mengenakan topi polisi. Lampu sorot segera memudar, digantikan lampu warna-warni yang menerangi panggung. Penonton bersorak menyambut dia, ‘Miss Kiani’, bintang baru di klub malam itu. Miss Kiani tidak lain adalah Kiani Irawati, dahulu seorang polwan, yang lantas berhenti dari pekerjaannya semula setelah dia diperkosa dan sesudahnya dipermalukan oleh pemberitaan. Setelah dia menghilang, entah apa yang terjadi kepadanya sampai dia akhirnya tampil di panggung itu.
Kiani mulai bergoyang; di tangannya dia memegang pentungan polisi, mirip dengan yang dulu dipakai si Jaket Hitam untuk memerawaninya. Dia mulai melangkah anggun berkeliling panggung. Ketika kembali ke tengah panggung, dia memutar-mutar pentungan di tangannya. Dia mengibaskan rambutnya yang kini panjang dan indah, tak lagi pendek seperti ketika menjadi polisi betulan. Kiani membalik badan dan memain-mainkan pentungannya di belakang pantatnya. Lalu dia pelan-pelan menungging sambil menggesek-gesekkan pentungan itu sepanjang garis selangkangannya. Kemudian dia berdiri tegak lagi, berbalik menghadap penonton, dan menjilat-jilat ujung pentungan.
Dia lalu menaruh pentungan itu di panggung dan melepas topinya. Ketika dia melempar topinya ke penonton, terlihatlah wajahnya yang bermake-up tebal, dengan eyeshadow biru dan lipstik merah menyala. Kiani tersenyum ke penonton, lalu menjilat bibirnya yang sensual. Dia terus menari erotis sambil bergerak ke dekat bangku. Kemudian sambil membelakangi penonton, dia menumpukan kedua tangan ke bangku dan membungkuk ke depan sampai pantatnya menonjol menantang penonton. Setiap mata di depan panggung memandangi ketika bokong Kiani bergoyang dari kanan ke kiri.
“Buka! Buka! Buka!” Penonton berseru-seru.
Kiani tersenyum polos dan menunjukkan wajah pura-pura kaget dengan membelalak sambil menutup mulut dengan tangan. Lalu satu tangannya berkacak pinggang sementara tangan satunya memberi isyarat, mengacungkan telunjuk lalu menggoyang-goyangkannya. Lalu dia pelan-pelan membuka satu demi satu kancing blusnya dengan hati-hati sekali, sehingga blus pendek itu tidak langsung tersingkap. Akhirnya, setelah semua kancing terbuka, dia tiba-tiba membuka blusnya dengan sentakan dan langsung melempar blus itu ke penonton.
Blus itu mendarat begitu saja tanpa ada yang menyambut karena penonton melihat apa yang Kiani kenakan di bawahnya: serangkaian sabuk kulit mirip tali-tali bra—hanya saja tidak ada bagian cup yang menutup payudara 36C-nya. Kedua bulatan mempesona itu menonjol dikelilingi bebatan sabuk kulit hitam, putingnya ditutup dua penutup yang ujungnya digantungi rumbai-rumbai yang ikut bergoyang seiring goyangan dada Kiani. Kiani terus menari di tengah siulan dan teriakan nakal penonton.
Kiani terus menggoda penonton dengan mencengkeram dan memain-mainkan kedua buah dadanya. Lalu dia menundukkan kepala dan menaikkan salah satu buah dadanya, kemudian menjilatinya. Penonton menyaksikan sambil menganga, air liur mereka sampai menetes. Kemudian, entah siapa yang mulai, terdengar lagi seruan “Buka! Buka! Buka!” Penonton ingin lebih. Dengan senang hati Kiani menuruti permintaan itu, dia melepas payudaranya dan membuka ikat pinggangnya, lalu membuka roknya. Rok itu jatuh memperlihatkan celana dalam g-string yang hanya menutupi kemaluannya. Ketika dia berbalik badan, tampaklah bahwa di bagian belakang hanya sebaris tipis kain yang menyelip di antara kedua belahan pantatnya yang montok.
Penonton bertepuk tangan dan bersuit-suit kegirangan. Melihat reaksi penonton, Kiani kembali ke bangku dan memungut pentungan polisi yang tadi ditaruhnya. Kembali dia gunakan pentungan itu untuk mengelus-elus kemaluannya, sambil wajahnya menunjukkan ekspresi dilanda birahi. Di depan penonton Kiani seolah-olah bermasturbasi menggunakan pentungan itu, dan musik sengaja dikecilkan volumenya agar terdengar suara-suara penuh nafsu dari bibir si mantan polwan. Tepuk tangan dan riuh suara penonton mencapai puncak ketika Kiani berpura-pura mengalami orgasme di panggung, kedua tangannya menggenggam pentungan yang sudah mendesak ke celana dalamnya, wajahnya terkulai ke belakang, matanya terpejam, mulutnya terbuka lebar dan melolong penuh nafsu. Pertunjukan Kiani pun usai dengan matinya lampu dan kata-kata pembawa acara, “Sekali lagi tepuk tangan untuk bintang baru kita, MISS KIANI!!!”
Laki-laki gendut bertahi lalat di pipi itu menyaksikan seluruh pertunjukan dengan antusias, sampai-sampai dia tak memperhatikan bahwa seorang laki-laki lain yang berkacamata hitam, bertato, dan berjaket hitam duduk di kursi di sebelahnya. Si Jaket Hitam mencolek bahu laki-laki gendut itu dan mengajaknya bersalaman.
“Selamat ya Bung, debut anak buah Anda sukses,” kata si Jaket Hitam.
“Hehehe, dia kan jadi anak buah kamu sekarang,” balas si gendut.
“Sesuai perjanjian, Anda boleh gratis pakai dia kapan saja,” kata si Jaket Hitam lagi.
“Habis ini, ya? Tolong siapin tempatnya. Aku udah pengen nyoba dia dari dulu.”
“Sip Bos. Silakan tunggu di kamar belakang ya. Nanti dia kusuruh datang ke sana.”
Sayang sekali, Kiani Irawati tidak menyadari bahwa dia telah dijerumuskan oleh atasannya sendiri. Ajun Komisaris Mauli selama ini menjadi beking si Jaket Hitam, pemimpin sindikat penjual manusia yang hendak ditangkap Kiani. Ketika Kiani meminta izin menggerebek sindikat si Jaket Hitam, Mauli sengaja mengulur waktu agar bisa memberitahu teman-temannya, dan menyiapkan jebakan untuk Kiani. Bacaan sex top:
Tertangkap dan diperkosanya Kiani adalah akibat rencana Mauli dan si Jaket Hitam. Tidak hanya itu; datangnya para wartawan ke TKP sebelum polisi, dan ramainya pemberitaan sesudahnya, juga digerakkan pasangan polisi korup dan penjahat itu. Mauli terus memantau Kiani setelah Kiani mengundurkan diri, dan menawarkan Kiani ikut suatu program rehabilitasi. Namun sebetulnya program itu adalah jebakan terakhir, dan Kiani kembali jatuh ke tangan si Jaket Hitam. Selanjutnya sang polwan cantik itu digojlok dan dihancurkan semangatnya sedemikian rupa dengan pemerkosaan dan penyiksaan hingga akhirnya Kiani berhasil ‘dijinakkan’ untuk menjadi seorang perempuan pemuas nafsu yang biasa diperdagangkan si Jaket Hitam. Malam itu adalah malam pertama Kiani memulai kehidupan barunya.
Kiani sudah berganti pakaian dan dan menunggu orang pertama yang akan dilayaninya di dalam suatu kamar di belakang klub. Kini dia mengenakan set lingerie putih berenda yang seksi. Dia duduk di atas tempat tidur sambil tangannya meraba-raba daerah intimnya sendiri. Rambut hitamnya yang panjang menjuntai menutupi sebagian wajahnya yang bermake-up tebal. Pintu kamar terbuka dan tertutup kembali selagi si beking, Mauli, memasuki ruangan dan berjalan mendekati Kiani. Kiani memandangi wajah mantan atasannya itu penuh harap sambil dia berdiri untuk menyambutnya.
“Kita ketemu lagi, Kiani,” kata Mauli sambil tersenyum sinis.
Perwira bertubuh gemuk itu tidak banyak bicara, dia langsung membalikkan tubuh Kiani dan mendorong si mantan polwan sampai terbungkuk di atas tempat tidur, lalu langsung memelorotkan celana dalam Kiani. Kiani menoleh dan melihat Mauli membuka celana. Tangan-tangan Mauli mencengkeram pantat bulat Kiani; terlihatlah tato hati yang dibuat si Jaket Hitam di atas pantat kiri Kiani. Beberapa detik kemudian, Mauli langsung menyerudukkan penisnya yang sudah tegang ke lubang vagina Kiani yang sudah diimpi-impikannya sejak pertama kali Kiani masuk menjadi anak buahnya. Kiani menanggapi dengan mengangkat kaki kirinya dan melibatkannya ke belakang, memeluk tubuh gendut Mauli. Kemaluannya sudah basah, dan menjepit senjata Mauli seolah-olah ingin segera mengeluarkan apa yang dikandungnya. Erangan dan desahan keluar dari mulut Kiani.
“Enak kan, Kiani? Ayo bilang,” perintah Mauli.
“Enak…” kata Kiani di tengah rintihan. “Ngentot itu enak…”
“Hahaha!” Mauli tertawa. “Memang kamu cocoknya buat dientot, Kiani! Badan bohai, tampang cakep, ngapain kamu jadi polisi? Mendingan kamu jadi lonte! Gimana, Kiani? Suka sama pekerjaan kamu sekarang?”
“Suka!” Omongan Kiani sudah tersesuaikan dengan kehancuran mental yang telah dialaminya.
Dia tak lagi seorang polwan dengan semangat berapi-api untuk memberantas kejahatan, kini dia telah menjadi seonggok daging untuk memuaskan nafsu lelaki, tanpa keinginan selain menuruti birahi. Kakinya menarik tubuh Mauli lebih dekat, pantatnya bergerak-gerak membalas gerakan Mauli. Pinggul Mauli terus menghantamnya berulangkali, sementara tangan si perwira polisi mencengkeram buah dada besar Kiani. Persetubuhan terus berlanjut, seiring terjerumusnya Kiani Irawati ke dunia hitam…