Cerita Dewasa 18+, Bu Lia adalah atasanku yang masih baru menjabat sebagai accounting manager selama beberapa minggu di perusahaan tempatku bekerja. Aku sering dipanggil ke ruangannya untuk menjelaskan budget yang dikeluarkan bulan kemarin. Umurnya kutaksir sekitar 26 tahunan. Sebagai seorang bawahan, aku tetap memanggilnya dengan sebutan “Bu” meskipun usiaku lebih tua.
Tapi baru kemarin ia memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan “Mbak”, agar suasana tidak terlalu formal katanya. Jika sedang tidak ada rekan kerja yang lain, ia pun dengan santai memanggil namaku tanpa embel-embel “Pak”.
Tanpa kusadari, lama-lama aku merasa senang memandang wajahnya yang cantik dan lembut menawan. Wajahnya memang menawan, dengan sepasang bola matanya yang terkadang terlihat berbinar-binar, atau menatap tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka mendikte.
Mungkin karena terbiasa menduduki jabatan yang tinggi di usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup tinggi untuk meminta seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya. Bu Lia selalu berpakaian formal. Blouse serta rok hitam yang agak menggantung sedikit di atas lutut merupakan pakaian favoritnya.
Jika sedang berada di ruang kerjanya, diam-diam aku sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit mengambil file dari rak folder yang terletak di belakangnya. Walau bagian bawah roknya lebar, tetapi aku bisa melihat pinggul yg samar-samar tercetak dari baliknya. Sangat menarik, tak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, membuat mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya.
Di dalam ruang kerjanya yang luas, tersedia seperangkat sofa yang sering digunakan olehnya saat menerima tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya daripada di ruang rapat.
Aku merasa beruntung jika dipanggil Bu Lia untuk membahas cash flow keuangan di sofa itu. Posisi dudukku selalu persis di depannya. Setiap kali kami berada dalam perbincangan yang serius, Bu Lia sering kali tidak menyadari roknya agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Aku bisa melirik sebagian kulit pahanya yang mulu. Kasertag-kasertag lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku berusaha untuk mengintip ujung pahanya.
Tapi mataku selalu terbentur dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi serta kedua lututnya lebih terbuka, tentu pemandangan yang ada akan lebih jelas lagi. Jika kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis juga tak kalah menarik karena terlihat putih dan terawat.
Saat sedang asyik menatap kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Bu Lia..
“Bayu, aku merasa bahwa kamu sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku benar?”
Aku terdiam sejenak sambil tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang berdebar-debar.
“Bayu, apakah dugaanku benar?”
“Iya, Mbak. Benar.”
Bu Lia tersenyum sambil menatap mataku.
“Kenapa?”
Aku hanya diam membisu. Terasa sangat sulit menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku, akhirnya kuberanikan diri untuk menjawab.
“Aku suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Serta….” setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya.
“Aku juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi rambut-rambut..”
“Sudah kuduga, kamu pasti berkata jujur, apa adanya,” kata Bu Lia sambil sedikit mendorong kursi rodanya.
“Agar kamu tak penasaran menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?”
“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil menundukkan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu.
“Kompensasinya apa?”
“Sebagai rasa hormat serta tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.”
“Bagus, aku suka. Bagian mana yg akan kamu cium?”
“Betis yg indah itu. Mbak..”
“Hanya sekali cium saja?”
“Seribu kali pun aku bersedia.”
Bu Lia tersenyum manis ditahan. Ia berusaha manahan tawanya.
“Tapi aku yang menentukan di bagian mana saja yang harus kamu cium, OK?”
“Deal, my lady..”
“I like it..” kata Bu Lia sambil bangkit dari sofa.
Ia melangkah ke meja kerja lalu menarik kursinya hingga keluar dari kolong mejanya yang besar. Setelah menghempaskan pinggulnya di atas kursi kerjanya yang besar dan empuk itu, Bu Lia tersenyum nakal dan membuat Cerita Dewasa Dominasi Seks Atasanku ini semakin menyenangkan.
Matanya berbinar-binar seolah menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan serta pujaan.
“Periksalah, Bayu. Berlutut di depanku..”
Aku membisu, kaget juga mendengar perintahnya.
“Kamu tidak mau memeriksanya, Bay?” tanya Bu Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.
Meski ada perasaan senang, namun aku tetap berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Bu Lia masih tetap tersenyum dan terus merenggangkan kedua lututnya.
“Bayu, kamu tahu warna apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?”
Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku. Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Bu Lia yang mulai renggang itu. Akhirnya aku menghampirinya, dan berlutut di depannya sambil menengadahkan wajahku. Mbak Lia masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa kali, lalu berpindah ke rambutku, serta sedikit menekan kepalaku agar menunduk ke arah kakinya.
“Ingin tahu warnanya?”
Aku mengangguk tak berdaya.
“Kunci dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya. Bu Lia menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada waktu itulah aku menbisa kesempatan melihat ke pangkal pahanya.
Kali ini tatapanku mengarah pada secarik kain tipis berwarna merah muda. Pasti ia memakai G-String, tebakku dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih sempat melihat rambut-rambut ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana dalamnya. Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk menyembunyikan semua rambut yg mengitari pangkal pahanya. Bahkan sempat kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.
“Suka?”
Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Bu Lia ke atas lututku. Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu. Bu Lia diam saja, tak ada komentar apa pun. Aku menunduk kembali sambil mengelus-elus pergelangan kakinya.
Kakinya mulus tak bercacat. Ternyata betisnya yang berwarna putih itu mulus tanpa rambut halus. Tapi di bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi rambut-rambut halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya.
Aku terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga.. hingga.. Aah,. Aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Hembusan nafasku ternyata membuat rambut-rambut itu meremang.
“Indah sekali,” kataku sambil mengelus-elus betisnya. Halus..
“Baym kamu suka?” Aku mengangguk.
“Tunjukkan bahwa kamu suka. Tunjukkan bahwa betisku indah..”
Aku mengangkat kaki Bu Lia dari lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yg menekuk itu. Aku sedikit membungkuk agar bisa mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang kedua, aku menjulurkan lidah agar bisa mengecup sambil menjilat, mencicipi kaki indah itu. Akibat kecupanku, Bu Lia menurunkan paha kanan dari paha kirinya.
Serta tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bagian dalamnya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Bu Lia mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Kurang jelas, Bay?”
Aku mengangguk.
Bu Lia tersenyum sambil mengusap-usap rambutku. Lalu telapak tangannya menekan bagian belakang kepalaku sehingga aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya. Tak pernah aku melihat paha semulus itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi rambut-rambut halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tak selebat bagian atasnya, serta warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang putih.
Aku merinding. Sebab ingin melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalam lututnya. Paha itu pun nampak semakin jelas. Menawan. Di paha bagian belakang mulus tanpa rambut. Karena gemas, kukecup berulang kali. Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi. Ketika hanya berjarak kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yang mesra dan basah.
Sekarang hidungku sangat dekat dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Walau tersembunyi, jelas bisa dapat kulihat ceplakan bibir vaginanya. Ada segaris kebasahan terselip di bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang menyelip keluar dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan mataku, aku menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku menjadi semakin terangsang.
Aroma yg memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Bu Lia. Ingin kusergap aroma itu serta menjilat kemaluannya. Bu Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, kaki kanannya diangkat membuat roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.
“Suka, Bay?”
“Hmm.. Hmm..” gumamku sambil memindahkan ciuman ke betis serta lutut kirinya. Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, serta meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang lututnya.
Bu Lia menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja. Ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalam dan semakin lama semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras. Serta ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Bu Lia mendorong kepalaku.
Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Bu Lia menarik telapak kakinya dari pundakku. Ia lalu menekuk serta meletakkan telapak kaki kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk serta terbuka lebar di atas kursi, serta yan sebelah lagi menjuntai di karpet. Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Lia merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.
“Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Bay,” katanya sambil menunjuk kolong mejanya.
Aku terkesima. Mbak Lia merenggut bagian belakang kepalaku, serta menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan perlahan itu tak mampu kutolak. Lalu Bu Lia tiba-tiba membuka ke dua pahanya serta mendaratkan mulut serta hidungku di pangkal paha itu.
Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir vaginanya terlihat semakin jelas. Semakin basah. Serta di situlah hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat menyegarkan. Aroma yang tercium seperti daun pandan tetapi mampu membius saraf-saraf di rongga kepala.
“Bagaimana, Bay..?”
“Hmm.. Hmm..”
“Sekarang masuk ke dalam..” ulangnya sambil menunjuk kolong meja.
Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah tak mampu berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang sedang terjadi. Tak peduli dengan etika, norma-norma bercinta yang sakral dalam percintaan.
Aku hanya peduli dengan kedua paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan menjambak rambutku, telapak tangan yang akan menekan bagian belakang kepalaku, aroma semerbak yang akan menerobos hidung serta memenuhi rongga dadaku, kelembutan serta kehangatan dua buah bibir kewanitaan yg menjepit lidahku, serta tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang pasti kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang sudah sangat ingin kucucipi.
Di kolong meja, Bu Lia membuka kedua belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah basah di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.
“Hanya lidah, Bay..Ok?” Aku mengangguk. Dengan cepat kubenamkan wajahku di G-string yang menutupi pangkal pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam mungkin. Bu Lia terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku. .
“Rupanya kamu sudah tak sabar ya, Bay?” katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.
“Hmmm…”
“Haus?”
“Hmmm..”
“Jawab, Bay” katanya sambil menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Haus..” jawabku singkat.
Tangan Bu Lia bergerak melepaskan tali G-string yang terikat di kiri serta kanan pinggulnya. Aku terpana menatap keindahan dua buah bibir berwarna merah yang basah mengkilap. Sepasang bibir yang di bagian atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus klitoris yang berwarna pink. Aku termangu menatap keindahan yang terpampang persis di depan mataku.
“Jangan diam saja. Bay.” kata Bu Lia sambil menekan bagian belakang kepalaku.
“Hirup aromanya….” sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya. Pahanya menjepit leherku sehingga aku tak bisa bergerak. Bibirku terjepit serta tertekan di antara dubur serta bagian bawah kemaluannya.
Karena harus bernafas, aku tak mempunyai pilihan kecuali menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya sedikit udara yang bisa kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan hidungku lebih dalem lagi. Bu Lia terpekik. Pinggulnya diangkat serta digosok-gosokkannya hingga hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari vaginanya.
Aku mendengus. Bu Lia menggelinjang serta kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya dalam-dalam, seolah kemaluannya adalah nafas kehidupannku.
“Luar Biasa…” kata Bu Lia sambil mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku yang telah licin dan basah.
“Enak, kan?” sambungnya sambil membelai ujung hidungku.
“Segar..”
Bu Lia tertawa kecil.
“Kamu pandai memanjakanku, Bay. Sekarang kecup, jilat, serta hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kamu memuja ini.”
Katanya sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.
“Jilat serta hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kamu memujanya. Tunjukkan rasa hausmu.. Jangan ada setetes pun yang tersisa.. Tunjukkan dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama serta ygan terakhir bagimu..”
Aku terpengaruh dengan kata-katanya. Aku tak peduli walaupun ada nada perintah di setiap kalimat yang diucapkannya. Aku memang merasa sangat lapar serta haus untuk mereguk kelembutan serta kehangatan kemaluannya. Kerongkonganku terasa panas serta kering. Aku merasa benar-benar haus serta ingin segera menbisakan segumpal lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku.
Lalu bibir kewanitaannya kukulum serta kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir vaginanya kuhisap-hisap bergantian, Kepala Bu Lia terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya menginjak bahuku.
Pinggulnya terangkat serta terhempas di kursi berulang kali. Sesekali pinggul itu berputar mengejar lidahku yg bergerak amelr di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku menjilat klitorisnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak rambutku.
“Ooh, ooh, Bayu.. Bayu.”
Klitorisnya kujepit di antara bibirku, lalu kuhisap serta permainkan dengan ujung lidahku, Bu Lia merintih menyebut-nyebut namaku..
“Bayu… nikmat sekali sayang.. Bayu.. Ooh.. Bayu.. Aaaaahh..”
Telapak kakinya menghentak-hentak di bahu serta kepalaku. Paha kanannya sudah tak melilit leherku. Kaki itu sekarang diangkat serta tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Bu Lia menjambak rambutku. Menekan serta menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak hatinya.
“Bayu, julurkan lidahmuu.. Hisap… Hisaap…”
Aku menjulurkan lidah sedalam mungkin, membenamkan wajahku di kemaluannya. Serta mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir kemaluannya, kedutan yang menghisap lidahku, mengundang masuk lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap seluruh kemaluannya. Aku tak ingin ada setetes pun terbuang.
Inilah hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang bisa menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam mungkin agar bisa langsung menghisap dari bibir kemaluannya yang mungil.
“Bayu… Hisap Bayu…..”
Aku tak tahu apakah desahan Bu Lia bisa terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang bisa kuhisap dan kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, mengalir membasahi kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari kemaluan Bu Lia, dari pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalem.
“Oh.. luar biasaaaa, Bay…” gumam Bu Lia sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursi.
Ia menunduk serta mengusap pipiku. Tak lama kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak aku berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.
“Aku puas sekali, Bay,” katanya.
Kami saling menatap. Matanya berbinar-binar sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya yang menatap sendu.
“Bayu.”
“Hmmm….?…”
“Tatap mataku,, Bay..”Aku menatap bola matanya.
“Jilat cairan yg tersisa sampai bersih..”
“Hmmm..” jawabku sambil mulai menjilati kemaluannya.
“Jangan menunduk, Bay. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat kemaluanku.”
Aku menengadah untuk menatap matanya. Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat serta menghisap kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.
“Kamu memujaku, Bay?”
“Ya, aku memuja betismu, pahamu, serta di atas segalanya, yang ini..Mmuacch..” jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra. Bu Lia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.